Skip to Content

Ruang Intim dan Kritik Tajam: Manyaksikan Komposer Muda Mengolah Bunyi Menjadi Bahasa Baru

Day 5 MTN Lab - Electroacoustic Music Lab

Solo — Hari kelima MTN Lab x Electroacoustic Music Lab 2025 kembali menegaskan dirinya sebagai ruang tempur gagasan, tempat para komposer muda menguji batas persepsi bunyi sekaligus mempertaruhkan kepekaan artistik mereka. Bertempat di Garena Gaming Hall, Solo Technopark, Seni, 24 November 2025. Sesi workshop memasuki fase kritis, komposisi sudah berbentuk, dramaturgi mulai tertata, dan permainan timbre dipertajam hingga ke detail terkecil.

Berbeda dari hari-hari sebelumnya, sesi presentasi siang itu dirancang lebih intim. Lima peserta dipanggil satu per satu ke ruang khusus. Format ini memungkinkan dialog mendalam, kritik lebih fokus, dan penggalian metodologis yang tidak mungkin terjadi dalam forum besar.

Peserta pertama, Bambang Dwiatmoko (Salatiga), menghadirkan sketsa komposisi berbahan dasar gamelan, suara macapat, gemericik air, dan ambience lalu lintas. Dengan pola alur A–B–A, ia mencoba membangun suasana yang kontemplatif. Namun, para mentor menilai karya itu masih “terlalu jinak.” Saran yang muncul cukup menantang, di sisa wakt yang tidak begitu lama. Ia disaranakan untuk merekam pasar, cari keramaian, biarkan kompleksitas itu mengganggu keteraturan. Bambang dipacu untuk keluar dari kenyamanan bunyi, agar karya tidak berhenti sebagai ilustrasi bunyi belaka.

Presentasi berikutnya datang dari Tsaqiva K. Gusti (Semarang). Mengandalkan rekaman-rekaman spontan dari ponsel, dari percakapan, kemarahan, aktivitas sehari-hari, ia mencoba mengonstruksi situasi urban yang akrab namun bising. Para mentor memberi catatan kritis. Frekuensi vokal manusia harus berada dalam rentang yang terkontrol, pengelompokan bunyi perlu lebih tegas, alur komposisi masih “melompat” dan butuh struktur perjalanan yang lebih logis. Jean dan Stevie mendorong Tsaqiva untuk merapikan tatanan frekuensi, bukan hanya menumpuk suara.

Devi Anggitaningrum (Sumedang) menghadirkan palet bunyi yang lebih lembut, bunyi kromong, kecapi, hingga suara burung yang direkam tanpa amplifikasi. Yang menarik, justru reverb alami dari rekaman burung itu membuat Jean tertarik. Katanya suara burungf itu “organik, jujur, dan indah,” ucapnya. Namun, Devi tetap diminta untuk merombak struktur dramatisnya agar pendengar bisa menangkap pesan apa yan ingin disampaikan.

Peserta keempat, Harri Haryono (Sukabumi), tampil dengan pendekatan yang paling ekstrem. Ia memproses desis nafas, teriakan, dan bunyi khas Tibet menjadi sajian elektroakustik yang intens dan konfrontatif. Pak Otto, composer elektroakusik senior, mengusulkan Harri menggabungkan dua pendekatan, yaitu real-time performance dan fixed media, agar dramatika sonik yang ia bangun memperoleh lapisan yang lebih kaya.

Penutup sesi adalah Ghazian Arta (Semarang), yang menciptakan komposisi berbasis bunyi bell yang dimanipulasi menjadi drone. Ia menyusun soundscape berlapis, meliputi bukit, kota yang tengah membangun, pantai, hingga dermaga di pesisir Jawa. Semua melalui proses manipulasi sehingga bunyi asli hampir tak dikenali. Mentor menilai pendekatan ini kuat, namun meminta Arta perlu mengatur ulang plot agar tidak monoton, terutama dalam penyusunan dinamika dan tensi audio.


Menuju “Bukan Musik Biasa”,  Muara Akhir Para Komposer

Usai sesi presentasi, para mentor memberi arahan untuk tahap berikutnya, yaitu memperkuat identitas karya, menambah bunyi yang relevan, dan memperjelas dramaturgi. Seluruh komposisi yang digarap selama workshop ini akan dipamerkan dalam format yang tidak lazim, sebuah forum “bukan musik biasa” di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta.

Di titik ini, jelas bahwa MTN Lab x Electroacoustic Music Lab bukan sekadar pelatihan. Ia adalah laboratorium kritik, ruang investigasi terhadap bunyi, sekaligus arena pertempuran ide di mana para peserta dipaksa mendefinisikan ulang apa itu komposisi dan bagaimana bunyi bekerja sebagai pengetahuan elektroakustik music (Joko Suyanto).



Share this post
Tags
Archive
Sign in to leave a comment
City Tour Dan Sound Walk: Kartografi Bunyi Kota Solo
Day 4 - MTN Lab x Electroacoustic Music Lab