Rangkaian MTN Lab x Electroacoustic Music 2025 resmi berakhir pada Rabu malam, ditandai dengan pertunjukan showcase dan sesi dialog publik di panggung Bukan Musik Biasa (BMB), Pendhapa Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Sejak pagi, para peserta masih memberi sentuhan akhir pada karya komposisi mereka sebelum berpindah ke venue BMB pada siang hari untuk melakukan instalasi perangkat dan persiapan teknis.
Di lokasi, seluruh peserta mengatur tata suara, memasang perangkat elektronik, hingga menata blocking panggung, terutama bagi yang berkolaborasi dengan penari. Para mentor, Jean David dan Stevie Jonathan Susanto, turut melakukan pengecekan detail sound system mengingat musik elektroakustik sangat bertumpu pada presisi bunyi.
Tepat pukul 20.00 WIB, Sekar Tri Kusuma membuka acara di hadapan penonton yang memenuhi pendhapa. Di sana terdiri dari mahasiswa, musisi, seniman, kritikus musik, budayawan, akademisi, hingga jurnalis. Pertunjukan diawali dengan pemutaran dokumentasi proses workshop selama tujuh hari.
Otto Sidharta, mewakili Manajemen Talenta Nasional (MTN), dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada peserta, mentor, tim BMB, serta TBJT yang telah mendukung terselenggaranya program. Sambutan dilanjutkan oleh perwakilan TBJT yang turut mengapresiasi gelaran showcase sebagai ruang eksperimen dan presentasi gagasan musik kontemporer.
Pertunjukan dibuka oleh Ghazian Arta Fikry (Semarang) dengan rekonstruksi bunyi tonggerek, soundscape dermaga, hingga atmosfer pembangunan kota yang diproses menjadi komposisi elektroakustik. Disusul Devi Aggitaningrum (Sumedang) yang memanipulasi bunyi burung, kromong, dan kecapi hingga kehilangan identitas aslinya, membawa penonton pada lintasan bunyi yang benar-benar baru.
Harri Haryono (Sukabumi) menampilkan perpaduan suara desis manusia real-time yang diolah langsung di panggung dan dipadukan dengan fixed media, menghasilkan kesan teatrikal. Berikutnya, Yudhistira R. Firdaus (Bandung) memanipulasi elemen gamelan bonang, saron, kendang, menjadi lapisan-lapisan bunyi elektroakustik berdurasi panjang.
Vincent Jonathan The (Tangerang) mengolah denyut kota Surakarta yang ia rekam melalui sound walk, termasuk klakson kendaraan, suara kereta uap, dan riuh lalu lintas. I Gede Nayaka Farell (Jakarta) mengeksplorasi bunyi remasan botol plastik yang dikombinasikan dengan visual LED, memperkuat hubungan antara suara dan gerak visual.
Tsaqiva merangkai rekaman percakapan warga, keributan, noise perkampungan, dan sekelebat bunyi dangdut menjadi kolase bunyi bernuansa sosial. Usman Wafa (Semarang) mengolah sumber tunggal karinding menjadi komposisi multi-layer khas elektroakustik. Bambang Widiatmoto (Salatiga) menghadirkan karya berbasis gamelan, suara pasar, dan unsur macapat yang dipadukan dengan tari, memberi dimensi performatif berbeda dari penampil lain. Penampilan ditutup oleh Raden Agung Hermawan (Jakarta) dengan komposisi yang merekam realitas ekologi Bengawan Solo, suara pemancing, gesekan gong, hingga iklan layanan masyarakat yang disusun secara dramaturgis.

BMB sebagai Ruang Dialektika Publik
Sesi dialog dibuka setelah seluruh penampilan selesai, dipandu oleh Joko Suyanto. Sebelumnya, para mentor Otto Sidharta, Jean David, dan Stevie Jonathan Susanto memberikan apresiasi atas capaian para peserta. Jean menyoroti proses kreatif yang berlangsung cair, di mana setiap peserta diberikan kebebasan membangun ide.
Musisi sekaligus etnomusikolog Joko S. Gombloh mengapresiasi penyelenggaraan showcase, ia menyoroti keseragaman warna bunyi yang muncul malam itu. Ia berharap ada eksplorasi yang lebih liar dan berani. Seniman tradisi dan akademisi Sigit Setiawan menyoroti istilah “akustik” serta mempertanyakan peran AI yang semakin memengaruhi proses kreatif musik. Menanggapi hal itu, Otto Sidharta menjelaskan bahwa istilah “akustik” perlu dimaknai sebagai segala bentuk bunyi, baik real-time maupun fixed media. Stevie menambahkan bahwa AI saat ini masih sebatas alat bantu, sementara Jean menegaskan bahwa perkembangan musik elektroakustik tidak dapat dipisahkan dari evolusi teknologi.
Penulis dan musisi Erie Setiawan juga turut memberikan catatan bahwa banyak karya mirip montase bunyi dan mempertanyakan dasar pemilihan soundbank. Ia pribadi menyukai karya berbasis satu sumber bunyi seperti milik Usman. Usman Wafa, menanggapi, menjelaskan bahwa karinding sejak awal memang menjadi pusat eksplorasinya. Sementara Raden Agung Hermawan mengungkapkan bahwa pemilihan bunyinya berangkat dari isu ekologi Sungai Bengawan Solo dan pengalaman langsung melalui sound walk.
Sebagai penutup sesi diskusi, Joko Suyanto, ia menegaskan, dunia akan selalu bergeser, biarkan Sejarah yang akan membuktikan bagaimana ai nanti akan seperti apa di dalam dunia penciptaan musik. Lanjut dia, bahwa pemilihan bunyi alam mencipta music adalah wilayah privat komposer. “Tidak ada bunyi yang benar atau salah. Bunyi adalah refleksi pengalaman personal,” ujarnya.
Showcase dan dialog malam itu menandai berakhirnya MTN Lab x Electroacoustic Music 2025. BMB kembali menjadi ruang yang tidak hanya menampilkan estetika bunyi, tetapi juga memantik percakapan kritis tentang arah perkembangan musik elektroakustik di IndonesiA. (Joko Suyanto).
PANGGUNG BUKAN MUSIK BIASA: SHOWCASE DAN DIALOG MUSIK ELEKTROAKUSTIK TUTUP MTN LAB 2025