Skip to Content

Menyelami Episode Masa Lalu Dan Aktualisasi Musik ElektroAkustik

Day 2 - MTN Lab x Electroacoustic Music Lab

Hari kedua MTN Lab x Electroacoustic Music Lab 2025, dimulainya workshop di hari pertama, di mana para peserta mulai memasuki ruang eksperimen bunyi secara langsung. Berlokasi di Gedung Garena Gaming  & Community Hub Solo Technopark, Kamis 21 November 2025. Di sana, di ruang wokshop itu, menjadi titik temu antara gagasan, sejarah, dan praktik artistik yang hidup. Sepuluh peserta hadir membawa pengalaman, rasa ingin tahu, dan ambisi untuk menjelajahi cara baru dalam mencipta bunyi.

Suasana workshop terasa cair namun penuh dengan konsentrasi. Kursi-kursi disusun melingkar, menciptakan atmosfer egaliter yang memudahkan percakapan dan diskusi. Workshop dibagi menjadi dua sesi bersama dua narasumber, Jean David dan Stevie J. Susanto. Dua figur dan dari dua latar berbeda,  namun sama-sama menempatkan bunyi sebagai medium untuk refleksi artistik.


Sesi 1: Menyusuri Sejarah dan Pioner Elektroakustik

Jean David – Sound Artist (Prancis)

Jean David membuka hari dengan perjalanan menengok ke masa lalu. Peserta diajak untuk menggali ingatannya menelusuri sejarah musik elektroakustik pada paruh abad ke-20. Ia memaparkan bagaimana perkembangan teknologi rekam, studio eksperimental, hingga pencarian bahasa bunyi baru memunculkan generasi pionir yang memperlakukan suara bukan sekadar elemen musikal, melainkan material artistik yang terbuka untuk dimanipulasi.

Nama Pierre Schaeffer (study of sound object), Pierre Henry (electro acoustic and music pioneer), mereka adalah salah satu di antara banyak pelopor musik elektroakustik. Jean memperdengarkan cuplikan karya mereka yang tersusun dari unit-unit suara monotematik, mencerminkan keberanian untuk melepaskan diri dari tradisi nada, ritme, dan melodi. Dari sanalah para peserta mulai memahami bahwa elektroakustik bukan hanya genre, tetapi cara mendengar, cara mengolah, cara meresepsi dan mengungkapkannya Kembali ke dalam system kerja artistik yang lebih baru.

Jean juga menunjukkan bagaimana perkembangan elektroakustik merambat ke ranah noise, soundscape, dan komposisi berbasis lingkungan. Ia memperdengarkan contoh musik elektroakustik yang digunakan sebagai soundtrack film Tidal, memperlihatkan bagaimana bunyi yang tak lazim dapat bekerja selaras dengan visual, membentuk atmosfer yang tak dapat dicapai oleh instrumen konvensional. Di akhir sesi, Jean membahas pentingnya kolaborasi dalam proses penciptaan. Ia berbagi pengalaman bekerja dengan seniman multidisiplin,  ia bersinggungan dengan perupa, penari, hingga seniman media untuk menciptakan pengalaman bunyi yang lebih imersif.

Ia juga memperlihatkan film documenter berjudul Sound JourneyThe Art Otto Sidharta, sebagai bahan refleksi. Ia juga menyinggung nama tokoh-tokoh sohor lainnya yang turut memengaruhi sejarah perkembangan musik elektroakustik. Di antaranya ada Alain Savouret, Bernard Parmegiani, dan Louvis Dufort. Ia tidak lupa menyanjung nama Luc Ferrari, seorang komposer yang menginspirasi dirinya dalam berkarya, terutama dalam memahami kesederhanaan  dalam bunyi. Ia berkata “bunyi tidak selalu harus rumit,” ujarnya pelan namun tegas. “Kadang kesederhanaan justru memiliki kekuatan yang besar”, begitu kata Jean. Di penghujung sesi, pesan Pak Otto juga tidak kalah mempesona dari Jean, “belajar harus mengalami dan bukan berarti hal yang kita suka”.



Sesi 2: Bunyi sebagai Ingatan, Trauma, dan Ruang Refleksi

Stevie J. Susanto – Komponis & Sound Artist (Indonesia)

Setelah jeda singkat, sesi kedua dibuka oleh Stevie J. Susanto, yang membawa para peserta memasuki ruang artistik yang lebih realistis dan emosional. Stevie mengupas karyanya yang berjudul In Memory, sebuah komposisi yang lahir dari pergulatannya terhadap tragedi bom Sarinah di Jakarta pada 2016 silam. Ia menyebutnya a sound-based memorial of victims terrorism.  Serangan bom di Sarinah menjadi pemicu, membawa kontemplasi dan respon emosional secara individual. Karya Stevie bukan untuk mengagungkan tragedi, tetapi memberi ruang penghiburan.

Karya tersebut dibangun dari ruang ritual kecil yang dipersembahkan bagi korban terorisme. Menggunakan empat singing bowls yang mewakili empat wilayah dan  menggabungkan bunyi, cahaya, dan interaksi. Melalui sekema tersebut, Stevie menjelaskan bagaimana tubuhnya, objek, dan bunyi dapat saling terhubung membentuk ruang refleksi yang penuh pemaknaan dan tafsir.

Stevie memperlihatkan bagaimana bunyi singing bowl yang tampak sederhana dapat menciptakan lapisan-lapisan resonansi yang kaya ketika digabungkan dengan rekaman lingkungan. Ia menunjukkan bagaimana ruang dengar dapat menjadi wadah untuk memproses trauma, ketegangan, dan kenangan, bahkan bagi pendengar yang tidak mengalami peristiwa itu secara langsung. Sayang sistem audio yang tidak proper, mengkaburkan atau membuat detail-detail flow sound designnya menjadi tidak maksimal. Sistem kerja musical dalam karya tersebut melibatkan kuartet gesek yang tubuh para pemainnya distimulasi gelombang listrik. Pengunjung dapat memukul mangkuk dengan mallet. Juga disempurnakan melalui kerja riset dan laobratorium melalui mengumpulkan ratusan suara benda jatuh, mengekspresikan tiap bunyi dan memanipulatifnya.

Ia juga membagikan proses riset yang ia lakukan dalam karya tersebut. Mulai dari mempelajari pola serangan terorisme di berbagai negara, membaca laporan investigasi, hingga memetakan pengalaman emosional masyarakat. Semua itu kemudian ia transformasikan menjadi karya yang tidak hanya bersifat artistik, tetapi juga refleksi sosial-politik. In Memory kemudian diwujudkan sebagai instalasi dan pameran bunyi yang mengajak pengunjung untuk mengalami bunyi sebagai ruang penhiburan dan ingatan.

Sesi Diskusi

Pemikiran yang terbuka dari para peserta, justru menjadi bagian paling hidup dari pertemuan hari ini. Salah satu peserta, Yudhistira R Firdaus melontarkan pertanyaan penting, apa itu musik acousmatik? Jean menjawab malarikan bunyi dari ruang realitas.  Lalu Stevie menjawab membuat bunyi menjadi asing kembali, dan Pak Otto menjawab, bermain dengan kebebasan bunyi murni.

Peserta lain, Tsaqiva Kinasih, mengembangkan pertanyaan ke wilayah hubungan antara konsep dan pengalaman dalam proses penciptaan musik elektroakustik. Di antaranya, mana yang lebih penting? Jean menjawab bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keseimbangan antara gagasan, intuisi, dan pengalaman menjadi elemen organik yang membentuk sebuah karya. Keterkaitan atau kelindan antara konsep dan pengalaman, harus menjadi formulasi kokoh untuk mencipta sebuah karya musiki.

Pertanyaan lain datang dari Bambang Widiatmoto, kapan seorang komposer perlu menggunakan real sound atau manipulated sound dalam menyusun musik elektroakustik berbasis soundscape? Pak Otto menjelaskan, bahwa penciptaan elektroakustik pada dasarnya mengalir secara intuitif dan situasional. Tidak ada formula baku, yang ada hanyalah kepekaan terhadap perasaan, ruang, dan pengalaman tubuh sang komposer. Kapan dan di mana real sound muncul atau manipulated sound eksis, semua bergantung pada intuisi sang komposer. Mereka, para komposer, memiliki kehendak bebas di dalam menentukan posisi, waktu dan sound apa yang akan eksis di dalam komposisinya.

Diskusi terus berkembang, hingga akhirnya sampai pada pemanfaatan ai di dalam penyusunan kompoisisi musik elektroakustik. Ada pertanyaan yang mendasar, masih dari Bambang Widiatmoto, ia bertanya bagaimana keterlinbatan ai di dalam proses penyusunan musik elektroakustik? Menurut Stevie, secara praktis, ai masih beperan hanya sebagai tools, belum mampu menghasilkan sound-sound yang real. Atau bahkan menghasilkan bunyi-bunyi semesta yang real. Untuk menuju ke sana, ai masih jauh perkembangannya. Bahwa kemudian ai dijadikan sebagai inspirasi untuk membuat  bunyi yang baru dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menurutnya itu merupakan sebuah wisdom dari masing-masing komposer. 

Di penghujung pertemuan, para peserta diminta untuk menjelaskan ide project yang akan dikerjakan. Ide itu yang nantinya akan diolah menjadi karya bersama dan ditampilkan. Diskusi ini menjadi penutup yang menegaskan bahwa musik elektroakustik bukan hanya praktik teknis, tetapi perjalanan reflektif yang ditempa oleh keberanian, rasa ingin tahu, dan dialog terus-menerus dengan dunia sekitar.

Hari kedua workshop berakhir dengan tubuh yang lelah, tetapi dengan kondisi pikiran yang penuh. Para peserta kembali ke hotel dengan membawa pemahaman baru—bahwa bunyi bukan hanya sesuatu yang didengar, tetapi sesuatu yang juga dihayati dan direfleksikan kembali.

(Penulis, Joko Suyanto)


Share this post
Tags
Archive
Sign in to leave a comment
Rumah Sakit "JIH" Solo Raih Angels Award, Upayakan Penanganan Stroke Paling Optimal