MTN Lab x Electroacoustic Lab 2025 hari ketiga, masih dalam suasana hingar-bingar workshop music elektroakustik. Sabtu, 22 November 2025, para peserta kembali memenuhi ruang Garena Gaming Solo Technopark yang sejak awal telah menjadi laboratorium bunyi. Hari ketiga workshop MTN Lab x Electroacoustic Lab 2025 ini, hanya dipandu oleh satu mentor, ya, dia adalah Stevie J. Sutanto, komponis sekaligus sound artist yang membawa peserta masuk lebih dalam ke ranah eksplorasi timbre dan struktur sonik. Agenda utama hari ini adalah membuat prototipe atau sketsa bunyi yang kelak dirangkai menjadi komposisi elektroakustik utuh.

Meresepsi Jejak Bunyi dari Panci hingga Semesta Es
Pagi itu, Stevie membuka sesi dengan memperdengarkan karya elektroakustik dari sejumlah komponis dunia. Sebuah rangsang auditif untuk menggugah imajinasi para peserta. Komposisi “Klang” karya Jonty Harrison menjadi pembuka yang langsung mencuri perhatian. Dentuman logam, gesekan kasar, dan deretan benturan panci dapur berkelindan satu sama lain membentuk lanskap bunyi yang liar sekaligus terstruktur. Jonty menuntun pendengarnya melalui tiga fase timbre, suara real dari logam dan panci, jernih dan mudah dikenali. manipulasi intens, di mana karakter asli panci lenyap dan menyisakan kebisingan artifisial yang tebal, dan kembalinya realitas, ketika bunyi perlahan kembali ke bentuk semula lalu menghilang seperti napas terakhir.
Peserta mendengarkan dengan penuh konsentrasi, mencoba menelusuri jejak-jejak perubahan bunyi yang terus bermetamorfosis. Stevie kemudian memutarkan karya Panayiotis Kokoras, yang berjudul Magic Piano, sebuah eksplorasi liar dari “ruang dawai” piano. Denting-denting pendek yang awalnya sporadis berkembang menjadi kompleksitas sonik yang nyaris tak tertebak. Disusul komposisi soundscape Microclimate karya Natasha Barrett, menghadirkan pertemuan gletser yang retak dan bertubrukan—membawa ruang workshop pada suasana semesta es yang tak berujung.
Deretan karya yang diperdengarkan itu bukan sekadar referensi, melainkan “undangan”. Dengan mendengarakan karya-karya para komponis dunia, peserta diharapkan menemukan preferensi bunyi, memikirkan material sonik yang ingin digunakan, dan bagaimana estetika timbre dapat diolah menjadi alur musik.

Merekam, Menyusun, Membahasakan Bunyi
Setelah sesi pemantik imajinasi, para peserta diberi waktu bebas untuk mulai membuat sketsa atau project bunyi. Ada yang berjalan di sekitar gedung, mengumpulkan suara-suara, atau benda-benda yang ditarget sebagai material bunyi. Ada yang merenung diam di sudut ruangan sambil mencoba mengatur struktur. Ada pula yang langsung melakukan perekaman cepat terhadap bunyi-bunyi yang telah mereka incar sebelumnya.
Satu jam berlalu, Stevie melakukan visitasi ke meja-meja kerja mereka. Ia memeriksa laptop demi laptop, mendengarkan potongan prototipe, memberi catatan teknis, menawarkan pilihan software, serta menyarankan cara memaksimalkan kualitas material yang telah direkam. Diskusi demi diskusi mengalir tenang, seperti percakapan para ilmuwan bunyi yang sedang menyusun formula estetikanya masing-masing.
Stevie mengapresiasi perkembangan cepat para peserta. Menurutnya, mereka sudah memiliki “bank suara” yang kaya, sehingga komposisi tinggal dirangkai seperti teka-teki timbre. Struktur awal sejumlah karya bahkan sudah terlihat, ada yang mulai bermain lapisan ritmis, ada yang fokus pada drone ambient, ada pula yang mengeksplorasi kebisingan sebagai wacana estetika.
Ruang workshop tampak hening, setiap peserta bekerja di balik headphonenya masing-masing. Percayalah, di sana (indera pendengaran), seolah menjadi dunia kecil yang penuh dengan dentuman, gesekan, dengungan dan bunyi-bunyi purba yang berkelindan satu sama lain.

Mengasah Kepekaan, Memperkuat Estetika
Salah satu peserta, Usman Wafa dari Semarang, mengungkapkan kesan mendalamnya. Baginya, sesi hari ini membuka wawasan tentang perangkat lunak yang lebih relevan, sekaligus memperkaya sudut pandang estetika. “Banyak masukan teknis yang sangat membangun,” ujarnya. “Tapi lebih dari itu, kami berdiskusi tentang bagaimana menemukan karakter bunyi yang benar-benar sesuai dengan narasi yang ingin kami sampaikan.” Kebetulan material bunyi yang dia kerjakan adalah bunyi dari karinding, soundnya sudah terekam dan sudah disampling, tinggal mengolah timbre, memanipulasinya serta mengatur alur yang dikehendaki.
Hari ketiga workshop ini menegaskan satu hal, bahwa bunyi tidak hanya didengar, tetapi diolah, diimajinasikan, dipikirkan, dan ungkapkan ulang dalam bentuk bunyi baru. Dari material sonik paling sederhana sekalipun, seperti panci, retakan es, dan dengungan dawai, para peserta dapat memahami bahwa musik elektroakustik adalah perjalanan panjang. Dari bunyi purba menuju estetika post-faktual. Dari pendengaran menuju penciptaan. Itulah yang membuat ruang ini terus hidup, proses yang tidak pernah berhenti menemukan kembali suara-sura semesta yang berserakan. (Joko Suyanto)
Bunyi Purba Menuju Estetika Elektro Post Factum: Proses Evolusi Bunyi Dalam Ruang Kreatif